Jakarta, MCN.com
. Tim kajian Partai Ummat mengenai e-Voting berbasis blockchain
menemukan bahwa teknologi baru ini tidak hanya menghemat keuangan negara sampai 90 triliun rupiah, tetapi juga mampu mengurangi kecurangan dan pelanggaran serta menghindari jatuhnya
korban petugas pemilu seperti terjadi pada pemilu sebelumnya.
Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi yang sekaligus memimpin tim kajian e-Voting
mengatakan dari 110 triliun rupiah anggaran Pemilu 2024, sejumlah 76,6 triliun rupiah
dialokasikan untuk KPU. Sebesar 54,9% atau 42,08 triliun rupiah di antaranya akan digunakan
untuk membayar honor badan ad hoc.Kamis,2, Mei,2022
enurut Ridho pada Pemilu 2019, badan ad hoc terdiri dari 7.201 PPK, 83.404 PPS, 809.500
KPPS, 130 Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), dan 783 Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN). Setiap PPK dan PPS beranggotakan tiga orang, setiap
KPPS beranggotakan tujuh orang, dan masing-masing PPLN dan KPPSLN beranggotakan tiga
hingga tujuh orang.
“Jika kita simulasikan, maka paling sedikit ada 5.941.054 orang dan paling banyak ada 5.944.706
orang yang masuk di badan ad hoc KPU.
Tak heran jika setengah lebih anggaran KPU
dipergunakan untuk honor badan tersebut. Jumlah ini belum termasuk jumlah pegawai KPU yang
lebih dari 14 ribu orang,“ kata Ridho, tim menemukan bahwa 21,97% anggaran KPU 2024 atau sebesar 16,84 triliun rupiah akan
digunakan untuk kebutuhan surat suara, formulir, tinta, sampul, kelengkapan TPS, dan lain-
lainnya.
Pemilu 2019 membutuhkan 4 juta lebih kotak suara, 75 juta lebih keping segel, 51 juta
lebih lembar sampul, 990 juta lebih lembar surat suara, 1,6 juta lebih alat bantu tunanetra, 2,1 juta
lebih bilik suara, 1,6 juta lebih botol tinta, 62,2 juta lebih keping hologram, 561 juta lebih lembar
formulir, dan 3,9 juta lebih lembar daftar pasangan calon dan daftar calon tetap.
Selanjutnya, kata Ridho, 1,02% atau sebesar 781,89 miliar rupiah untuk pemutakhiran data
pemilih, 1,68% atau sebesar 1,29 triliun rupiah untuk pencalonan, dan 1,6% atau sebesar 1,23
triliun rupiah untuk sosialisasi. Yang terakhir, 18,83% atau sebesar 14,43 triliun rupiah akan
digunakan untuk kebutuhan pendukung seperti pembangunan atau renovasi kantor, gedung arsip,
pengadaan kendaraan, gaji pegawai KPU, belanja operasional kantor, dukungan IT, dan seleksi
komisioner.
“Alokasi anggaran untuk Bawaslu adalah 33 triliun rupiah. Secara umum, dapat kita perkirakan,
penggunaan anggaran oleh Bawaslu akan lebih banyak untuk kegiatan pengawasan, yang berarti tidak jauh dari kebutuhan sumber daya manusia, kegiatan, dan infrastruktur pendukung,“ kata
Ridho.
Ridho melanjutkan paling tidak ada sekitar 834.080 pegawai Bawaslu, termasuk yang tetap dan
yang ad hoc. Dari Pemilu 2019, dari total anggaran Bawaslu yang berjumlah 8 triliun rupiah, 964
miliar lebih di antaranya digunakan untuk belanja pegawai, seperti gaji. Kemudian 7,6 triliun
rupiah lebih digunakan untuk belanja barang, seperti biaya perjalanan, dan 141 miliar lebih untuk
belanja modal seperti renovasi bangunan.
Sebagai perbandingan, anggaran penyelenggaraan Pemilu 2004, 2009, 2014 dan 2019 berturut-
turut adalah, 4,4 triliun, 8,5 triliun, 15,6 triliun, dan 25,6 triliun. Dengan demikian, kata Ridho,
anggaran Pemilu 2024 adalah 19 kali lipat lebih besar daripada biaya Pemilu 2004, dan tiga kali
lipat daripada Pemilu 2019.
Kecurangan dan Korban Jiwa dalam Pemilu
Ridho Rahmadi mengatakan luasnya wilayah RI yang terdiri dari lebih dari 17 ribu pulau dan 190
juta lebih pemilih memungkinkan timbulnya banyak pelanggaran serta kecurangan pemilu,
kebutuhan sumber daya yang banyak, dan biaya yang sangat tinggi.
Pada hari pemilu orang-orang diminta untuk hadir ke TPS untuk memberikan suaranya dengan
cara mencoblos surat suara. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang ada di
setiap TPS kemudian menghitung suara dan mengirimkan rekapitulasi suara beserta kotak-kotak
berisi surat suara ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) di kantor desa, untuk transit sambil
menunggu semua kotak suara masuk dari seluruh TPS yang ada di suatu desa.
Selanjutnya kotak suara dikirim ke Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) di kantor kecamatan.
Setelah genap kotak suara dan selesai rekapitulasi suara dari seluruh desa yang berada di suatu
kecamatan, kotak-kotak suara tersebut dikirim ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU)
Daerah.
Dengan pola yang sama, pengiriman kotak-kotak suara dan rekapitulasi suara akan dilakukan
hingga ke jenjang berikutnya, yakni KPU Provinsi dan KPU Pusat, sebelum akhirnya dilakukan
rekapitulasi nasional.
Secara keseluruhan, proses ini dapat memakan waktu hingga satu bulan lebih. Menurut beberapa
sumber, proses perjalanan rekapitulasi suara dan kotak suara di antara TPS dan PPK merupakan
tahapan yang sangat rentan terhadap praktik kecurangan dan sangat memakan waktu.
Ada sekitar 4 juta kotak suara yang tersebar di 800 ribu lebih TPS, yang kemudian transit di 83
ribu kantor desa dan 7.000 kantor kecamatan.
“Dari alur di atas, dapat kita lihat di mana letak titik rentan kecurangan dan ketidakefektifan
sistem pemilu tradisional, dan betapa sulit cara pengawasannya. Dari Laporan Bawaslu pada
Pemilu 2019, ada 16.134 pelanggaran administrasi, 374 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran
pidana, dan 1.475 pelanggaran hukum lainnya yang dilaporkan,“ Ridho menjelaskan. Dia melanjutkan total ada sekitar 6 juta orang yang bertugas dalam penyelenggaraan dan
pengawasan Pemilu 2019, 32 ribu personil TNI-Polri yang terlibat di dalam pengamanan, dan
sekitar 12 juta orang perwakilan partai politik sebagai saksi.
“Selain itu proses penghitungan suara sangatlah melelahkan. Tercatat ada 894 petugas KPPS yang meninggal dunia, dan 5.175 di antaranya jatuh sakit. Ini berita sangat menyedihkan dalam
perhelatan demokrasi modern,“ kata Ridho.
Namun jika mekanisme yang dipakai masih rapuh terhadap kecurangan dan tidak memiliki
kemampuan untuk mengantisipasinya, kata Ridho, maka cita-cita bersama untuk mewujudkan
demokrasi yang sehat akan selamanaya menjadi mimpi yang tidak pernah terwujud.
Berpikir Alternatif dan Inovatif
Untuk memecahkan masalah besar pemilu di tanah air tersebut, Partai Ummat mengajak bangsa
Indonesia untuk berpikir alternatif dan inovatif, keluar dari tradisi yang dilakukan selama ini.
“Sebagai seorang akademisi dengan latar belakang Teknologi Informasi (TI), saya ingin
mengusulkan penggunaan e-voting berbasis blockchain sebagai sebuah alternatif. Secara umum,
e-voting adalah pemungutan suara menggunakan perangkat elektronik seperti komputer, yang
biasanya terhubung ke jaringan internet,” Ridho menjelaskan.
Ridho melanjutkan berbagai negara telah menerapkan e-voting, dan Estonia adalah salah satu
pionirnya. “Secara khusus yang dimaksud dengan e-voting di sini adalah pemungutan suara cukup
menggunakan aplikasi yang diinstal di smartphone atau ponsel cerdas yang dimiliki oleh masing-
masing pemilih.”
Data hasil pemilihan kemudian akan tersimpan dalam server dengan teknologi blockchain.
Blockchain sendiri adalah sebuah konsep di mana setiap data baru yang akan dimasukkan ke
dalam sistem harus divalidasi secara konsorsium terlebih dahulu.
Data yang tervalidasi kemudian dimasukkan ke dalam rantai blok data (sehingga disebut
blockchain), yang terintegrasi dengan kriptografi. Seluruh blok data disimpan di pusat-pusat data
yang banyak dan saling terhubung.
Sifat blockchain yang immutable atau append-only memastikan hanya penambahan data yang
dimungkinkan. Sementara setiap upaya perubahan data di suatu blok data harus divalidasi ulang
oleh semua blok data yang lain di setiap pusat-pusat data, Ridho menjelaskan.
“Kedua hal tersebut membuat sistem berbasis blockchain sangatlah aman dan hampir mustahil
dibobol, berbeda dengan sistem IT tradisional yang hanya menggunakan satu pusat data yang jika
pusat data tersebut dibobol oleh hacker, maka tamat riwayatnya,” tambah Ridho.
Dengan menggunakan teknologi e-voting, rekapitulasi suara dapat langsung dilakukan secara
langsung (real time) dan akumulatif bersamaan dengan data suara yang masuk. Artinya secara teori, kata Ridho, jika tidak ada masalah teknis pada jalur komunikasi antara ponsel cerdas dengan
infrastruktur sistem e-voting, seperti jaringan internet dan listrik, maka rekapitulasi suara akan
selesai pada hari yang sama diselenggarakannya pemilu. “Sebagai bentuk kehati-hatian, sebelum pengumuman hasil rekapitulasi nasional, kita bisa
tambahkan beberapa hari untuk audit sistem guna memastikan setiap tahapan di dalam sistem e-
voting berbasis blockchain ini telah dilakukan dengan benar. Dengan demikian, satu minggu
adalah waktu yang rasional untuk menyelesaikan seluruh proses e-voting tersebut,” kata Ridho.
Dari aspek keamanan maupun keefektifan waktu, sistem e-voting berbasis blockchain jelas lebih
aman dan lebih efektif secara waktu, kata Ridho.
“Tidak ada lagi cerita kertas dan kotak suara yang diganti di suatu tempat, karena semua proses
dilakukan secara digital.
Insya Allah juga tidak ada lagi berita petugas yang kelelahan sehingga
meninggal dunia, karena proses perhitungan dikomputerisasi sedemikian rupa sehingga cepat dan
tidak membutuhkan banyak tenaga manusia untuk menghitung secara manual,”
Ridho menjelaskan.
Keamanan Teknologi Blockchain
Ridho Rahmadi menjelaskan yang membuat konsep blockchain lebih aman dan hampir mustahil
untuk dibobol jika dibandingkan dengan sistem TI tradisional adalah sebagai berikut.
Pertama, sistem TI tradisional secara umum adalah sistem “kotak hitam”
Diistilahkan sebagai “kotak hitam”, karena pengguna sistem tidak tahu persis bagaimana proses
yang dilalui masukan (dalam hal ini adalah data suara) hingga menjadi keluaran (dalam hal ini
adalah rekapitulasi suara).
Proses di tengah-tengah yang tidak sepenuhnya transparan ini membuat kita kesulitan untuk
memastikan bahwa data suara yang masuk hingga kemudian direkapitulasi adalah data yang valid.
Kedua, sistem tradisional seperti ini biasanya menggunakan satu pusat data atau tersentralisasi
yang berfungsi sebagai penyedia layanan sekaligus penyimpanan data. Jika terjadi upaya hacking
atau pembobolan pada pusat data tersebut, maka data yang ada dapat diubah atau bahkan
dihilangkan. Ini sangat berbahaya bila terjadi pada data pemilu.
Sedangkan pada sistem berbasis blockchain, setiap data baru akan divalidasi terlebih dahulu
sebelum dimasukkan ke dalam rantai blok data baru.
Proses validasi data
di sini menggunakan metode konsorsium otoritas, mengadopsi konsep Proof-of-Authority (POA). Di dalam metode ini, setiap otoritas yang dilibatkan, seumpama KPU, Bawaslu dan pihak lain
yang ditunjuk, akan memvalidasi data suara yang masuk lewat aplikasi.
Secara teknis, otoritas di sini adalah salah satu dari pusat-pusat data sebagaimana diilustrasikan
Proses validasi dilakukan secara hibrid menggabungkan mekanisme otomatis dan
juga pengecekan secara manual – yang tentu tetap dilakukan secara digital. Hanya data suara tervalidasi oleh otoritas yang akan dimasukkan ke dalam blok data baru di dalam blockchain (rantai blok data). Setiap pusat data akan menyimpan rantai blok yang sama.
Demikian juga jika terjadi penambahan blok data baru, maka masing-masing pusat data akan
melakukan pembaruan yang sama. Ini adalah konsep desentralisasi data, yang merupakan salah
satu pembeda utama dari sistem tradisional yang tersentralisasi pada satu pusat data saja.
Sifat blockchain sendiri adalah append-only, immutable, yang berarti hanya penambahan data
yang diizinkan. Dengan demikian histori data akan sangat terjaga dengan baik. Ini sangat relevan
dengan kebutuhan pemilu yang perlu untuk melihat jejak detail setiap data yang masuk.
Upaya untuk mengubah data pada salah satu blok yang ada di blockchain memerlukan validasi
dari konsorsium otoritas di semua pusat-pusat data. Dengan demikian, serangan terhadap sistem
berbasis blockchain sangatlah sulit – kalau tidak mustahil – karena jika konsorsium menolak
perubahan tersebut, maka otomatis upaya tersebut gagal. Metode konsorsium otoritas ditambah dengan sifat blockchain yang immutable, dan juga konsep
desentralisasi data, memastikan sistem e-voting berbasis blockchain insya Allah sangat aman dan hampir mustahil untuk dibobol.tutup Ridho.
#MCN/RZ/RED
More Stories
Debat Calon Bupati Maluku Tenggara Usai, M.T Hanubun: Meskipun Berkompetisi, Tapi Tetap Bersaudara
Anggota DPRD Kabupaten Nagekeo Kristianus Garo: Penting Kerja Kemitraan dan Berjejaring
Seruan Pilkada Damai untuk Maluku Utara