![]()
Jakarta – MCN.com – Terdakwa Jimmy Masrin menegaskan bahwa tindakannya dalam mengembalikan dana kepada LPEI sebagai bentuk “moral obligation” yang berada di atas hukum. Menurut Jimmy dalam bisnis, kepercayaan (trust) merupakan unsur utama.
“Moral obligation” itu merujuk pada nama baik keluarga dalam berbisnis, yang telah dilakukan sejak 1951 sampai sekarang. Ketika PT. Petro Energy dinyatakan pailit pada 29 Juni 2020, Jimmy datangi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan LPEI meminta dua hal, yaitu pembayaran awal saat penandatanganan perjanjian dan pemberian jaminan pribadi.
Jimmy kemudian menandatangani Perjanjian Jaminan Pribadi Nomor 31 tanggal 24 Mei 2021 di hadapan Notaris Dewantari Handayani dengan nilai jaminan sebesar USD 30 juta, sesuai porsi kepemilikan Catur Karsa di Petro Energy.
Menurut Penasehat Hukum Jimmy Masrin, Waldus Situmorang, SH, integritas dan nama baik keluarga menjadi dasar utama dalam pengambilan keputusan Jimmy, bukan semata pertimbangan hukum.
Waldus menambahkan bahwa Jimmy telah membayar utang korporasi sehingga tidak ada kerugian negara. “Karena ini kasus pailit dan bisnis, bukan kasus pidana,” jelas Waldus.
Waldus mengatakan, setelah PT Petro Energy pailit, LPEI sebagai korporasi memanggil Jimmy untuk mengembalikan uang mereka. “Tanpa mau tunduk pada UU Kepailitan, semuanya berbasis kesepakatan. Basisnya adalah perjanjian,” tandas Waldus.
Waldus menyayangkan soal waktu yang lama. “Prosesnya mulai tahun 2021, tapi Jimmy baru ditersangkakan pada Februari 2025,” tutur Waldus kepada awak media usai persidangan.
Semua hal ini mengemuka dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang dilaksanakan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2025).
Sidang itu menghadirkan terdakwa Jimmy Masrin, Beneficial Owner PT Petro Energy, untuk diperiksa.
Waldus Situmorang kemudian bertanya kepada Jimmy soal kewajiban moral atau moral obligation itu yang diperlihatkan dirinya saat PT. Petro Energy sebagai peminjam memiliki sejumlah jaminan, baik pribadi maupun korporasi, dan dirinya mengembalikan dana itu.
“Moral obligation itu berada di atas semua jaminan formal-hukum. “Moral obligation” itu merupakan kewajiban moral dan reputasi keluarga kami. Integritas itu jaminan utama dalam bisnis. Meskipun sudah ada jaminan hukum, kami tetap merasa berkewajiban secara moral untuk menyelesaikan tanggung jawab itu,” tutur Jimmy Masrin di hadapan majelis hakim.
Waldus Situmorang kemudian meminta Jimmy menjelaskan tentang hasil audit forensik yang menemukan adanya pelanggaran terkait pemberian pinjaman oleh direksi.
Jimmy mengatakan, sejak awal, PT Petro Energy didirikan untuk tujuan bisnis perdagangan high-speed diesel, bukan untuk memberikan pinjaman. Bila ada pinjam-meminjam, itu harus ada persetujuan dari Dewan Komisaris.
“Yang terjadi adalah para direksi tidak taat pada aturan ini. Mereka melakukan peminjaman atas nama pribadi maupun atas nama korporasi tanpa sepengetahuan Dewan Komisaris. Ada tindakan penggelapan oleh seorang direksi, yang sudah dilaporkan ke Bareskrim Polri,” ujar Jimmy.
Sementara itu, Penasihat Hukum Soesilo Aribowo bermaksud mengembangkan pemahaman dengan bertanya terkait pemahaman Jimmy tentang beneficial owner (BO) dan pemegang saham.
“Di sini, Saudara telah dituduh memperkaya diri selaku pemilik manfaat atau beneficial owner Petro Energy sejumlah USD 22 juta dan Rp 600 miliar. Apakah mengerti apa perbedaan antara beneficial owner dan pemegang saham? Apakah Saudara mengerti hak-hak pemegang saham?” tanya Soesilo.
Jimmy menjawab bahwa ia memahami perbedaannya, termasuk hak-hak pemegang saham seperti mengeluarkan suara, menerima dividen, dan memutuskan susunan direksi.
“Saya hanya bertindak sebagai pemegang saham atau investor, bukan pemilik manfaat (beneficial owner),” ujarnya.
Soesilo melanjutkan pertanyaan. “Mengacu ke Perpres, apakah Saudara dalam melakukan tindakannya dapat mempengaruhi kewenangan dengan atau kekuasaannya tanpa adanya otorisasi dalam suatu perseroan atau perkumpulan?”
Jimmy menegaskan bahwa dia tidak pernah menjalankan kewenangan tanpa otorisasi pihak lain.
Soesilo kemudian menyinggung fungsi komisaris, yang menurut Jimmy adalah melakukan pengawasan terhadap direksi dan memberi nasihat, termasuk terhadap kebijakan pengurusan perusahaan.
Jimmy mengatakan tak paham dengan adanya pinjaman USD 20 juta. “Saya cukup kaget ada pinjaman sebesar USD 20 juta. Itu bukan uang kecil. Koq, permintaannya bisa USD 20 juta. Begitu besar. Saya mau tahu,” ungkap Jimmy.
Jimmy, dalam persidangan, juga bercerita tentang perkenalannya dengan Newin Nugroho dan Susi, yang sesungguhnya ia hormati, namun belakangan diketahui telah menyalahgunakan wewenang mereka.
Waldus Situmorang menilai bahwa perkara ini harus dilihat dalam konteks hukum kepailitan dan hubungan bisnis yang sah. Menurut PH terdakwa Jimmy Masrin itu, ketika terjadi kepailitan dalam suatu korporasi, maka tugas itu diambil alih oleh kurator.
Waldus kembali menegaskan bahwa tidak ada kerugian negara dalam tindakan yang dilakukan. “Karena semuanya dijalankan berdasarkan kesepakatan bisnis dan mekanisme hukum kepailitan,” tandas Waldus.
** (Rika)



More Stories
PH Gunadi Wibakso Pertanyakan Dasar Penghitungan Kerugian Negara Pada Kasus Akuisisi PT JN Oleh PT ASDP Indonesia Ferry
Tak Terbukti Bersalah, PH Hasidah Minta Majelis Hakim Bebaskan Franklin
Sidang Lanjutan Perkara Korupsi CPO Dengan Agenda Pembacaan Dakwaan Jaksa