Desember 20, 2024

Lurah Rawasari Dihadirkan Dalam Sidang Dugaan Pemalsuan Surat Tanah Girik Jalan Pramuka Ujung

Spread the love

Loading

Jakarta – MCN.com – Sidang lanjutan terkait kasus dugaan pemalsuan tanah girik di Jalan Pramuka Ujung, Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (26/9/2024). Pada kesempatan ini Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi Lurah Rawasari, M. Arief Biki.

“Hari ini saya hadir pada sidang perkara atas permintaan Jaksa Penuntut Umum. Perkara ini terkait Tanah di Jalan Pramuka Ujung, Rawasari. Seperti diketahui kasus ini mulai bergulir pada 2021 awal di mana saat itu menjadi sengketa di Bareskrim Mabes Polri. Saya baru hadir hari ini,” ujar Arif Biki kepada awak media.

Arif Biki mengaku sebagai Lurah Rawasari dia mendukung penyelesaian perkara ini, sehingga apa yang dibutuhkan oleh pengadilan dari dirinya akan dia bantu.

Dalam persidangan, Arif Biki menjelaskan, bahwa kelurahan di Jakarta berbeda dengan desa di daerah. Di daerah, kedudukan kepala desa memiliki otonomi desa sehingga dapat melakukan hal-hal sesuai kewenangannya. Agak berbeda dengan kewenangan Lurah di Jakarta yang merupakan perangkat kerja di bawah Walikota.

“Kami tidak memiliki kewenangan khusus terkait pertanahan. Karena itu saya tidak bisa berkomentar terkait masalah pemalsuan surat girik, karena hal itu di luar kewenangan saya,” tutur Lurah Arif Beki.

Seperti diketahui, kasus yang melibatkan dua pihak, yaitu antara PT Bumi Putra Waluyo versus terdakwa Saad Fadlil Sa’di, Gunawan Muhammad, dan Ropina Siahaan, ini sudah berlangsung lama dan sangat kompleks. Saadi dituduh memalsukan suar tanah girik yang dibelinya. Inilah yang membuat Saadi, Gunawan, dan Rophina menjadi terdakwa.

Pihak PT Bumi Putra Waluyo sejak awal menjadikan dasar kepemilikan tanah mereka itu pada SP3L, SIPPT dan SK Gubernur DKI Jakarta tahun 2016.

Kuasa Hukum para terdakwa, Zerry Syafrizal, SH, MM, sejak semula selalu mempertanyakan keabsahan dasar hukum hukum lawannya itu. Menurut Zerry, SP3L hanya berlaku selama 6 bulan; SIPPT hanya merupakan bagian dari kelengkapan sertifikasi tanah, dan SK Gubernur terkait dengan pembebasan tanah.

Sehingga Zerry melihat kelemahan PT Bumi Putera Waluyo terkait legalitas kepemilikan tanah dan pembebasan tanah. Zerry juga mempertanyakan ketidakjelasan alamat domisili PT Bumi Putera Waluyo dan status pembayaran pajaknya kepada pemerintah.

Sengketa tanah ini memang panjang karena melibatkan dokumen dan catatan sejarah dari mereka yang berkonflik.** (Rika)