Jakarta – MCN.com
– Lembaga Swadaya Masyarakat Pijar Keadilan Demokrasi, Papua, menggelar unjuk rasa di depan Kantor Kementerian LHK, Jakarta, Selasa (29/8/2023). Mereka menuntut keadilan atas hak tanah ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan yang saat ini telah diserobot oleh Kementerian LHK. Hak ulayat masyarakat hukum adat itu telah diatur dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008.
Mereka menuduh Kementerian LHK telah melakukan praktik mafia tanah mereka, dengan melibatkan oknum masyarakat, oknum Dinas Kehutanan Provinsi Papua, oknum BKSDA Provinsi Papua, oknum pemerintah daerah, dan oknum Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Papua.
Rizal Muin, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah LSM “Pijar Keadilan dan Demokrasi” Provinsi Papua, merupakan pemegang hak atas sejumlah bidang tanah dan sejumlah bangunan di atasnya.
Tanah seluas 146.700 hektar itu terletak di Jl. Pantai Hamadi, Tobati, Jayapura itu dimiliki Rizal Muin itu terdiri dari dua bidang tanah, yakni bidang tanah I seluas 86.700 meter persegi dan bidang tanah II seluas 60.000 meter persegi.
Bidang tanah I dimiliki Rizal Muin sejak 22 November 1992 sesuai bukti Surat Pelepasan Hak Tanah Adat dari Abraham A. Ireeuw (Suku Ireeuw). Sementara bidang tanah II dimilikinya sejak 19 Mei 2021 sesuai bukti Surat Pelepasan Tanah Adat dari Timotius Dawir (Kepala Suku Dawir).
Sesuai hukum, kedua bidang tanah tersebuh sah sebagai “obyek tanah hak” yang tercatat atas nama H. Rizal Muin. Sejak 1997 obyek fisik tanah itu dikuasai Rizal Muin tanpa ada masalah.
Namun pada 30 Mei 2023 sejumlah petugas dari Kantor Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua, Direktorat Jenderal Konservasi SDA dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, bersama sejumlah oknum aparat penegak hukum (APH) Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Papua dan Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Jayapura, melakukan tindakan pemasangan dua buah papan plang bertuliskan “Kawasan Konservasi TWA Teluk Youtefa. Dilarang Mengubah Bentangan Alam di Kawasan Ini Tanpa Ada Pemberitahuan Terlebih Dahulu Kepada Pemilik Tanah Yang Sah”.
LSM Pijak Keadilan dan Demokrasi menilai tindakan aparat itu sebagai perbuatan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang melanggar sejumlah instrumen hukum, antara lain UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 Tanggal 16 Mei 2013; Putusan MK Nomor 116/PUU-VII/2009 Tanggal 1 Februari 2010, sejumlah UU lain serta sejumlah Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua.
LSM Pijar Keadilan dan Demokrasi memprotes tindakan perampasan tanah secara sewenang-wenang ini. Mereka menduga pencaplokan tanah itu bagian dari upaya berlindung di balik Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/1996 Tanggal 11 November 1996 Tentang Penetapan Kelompok Hutan Teluk Youtefa yang terletak di Kabupaten Jayapura, Seluas 1.675 hektar.
Atas tindakan aparat itu, maka proses pendaftaran tanah atas nama Rizal Muin tidak dapat dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kota Jayapura, padahal sudah keluar Instruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), yaitu bahwa sampai tahun 2025, semua obyek tanah yang dikuasai warga masyarakat wajib didaftarkan guna memperoleh kepastian hukum atas kepemilikan tanah.
Steveni Wanggem, aktivis LSM Pijar Keadilan Demokrasi, yang ikut dapat pertemuan dengan Kepala Biro Humas Kementerian LHK, mengatakan, mereka mendesak dicabutnya papan plang yang ditancapkan aparat di Jayapura di atas tanah milik Haji Rizal Muin.
Dialog berjalan tersendat karena pihak Kementerian LHK tetap mempertahankan regulasi yang mereka miliki.
John Weri mengatakan, sebelum negara lahir, eksistensi tanah adat itu sudah ada dan dimiliki masyarakat adat. Dalam UUD 1945, Pasal 18b ayat 2, pengakuan negara atas masyarakat adat sudah tercantum di sana. Sementara hak kepemilikan atas tanah sudah diatur dalam Pasal 28h ayat 4.
Persoalan tanah di negeri ini menjadi persoalan yang peling. Negara menguasai sekian persen dari lahan yang ada di negeri ini. Konyolnya, lahan berkedok konservasi itu sewaktu-waktu dijadikan komoditas politik oleh aparat negara untuk membesarkan pundi-pundi mereka.
Reformasi agraria selalu tertinggal, karena tanah menjadi komoditas politik yang sangat empuk. Negara atas nama pemerintah tidak boleh menabrak regulasi yang ada di daerah, yang disusun dengan dasar hukum adat dan kearifan lokal. Sayangnya mafia tanah itu masih leluasa menancapkan kukunya. **(Rika)
More Stories
Lanal TBA Dukung Pemkab Asahan Launching Gerakan Serentak Uji Coba Makan Bergizi Sehat Bagi Peserta Didik
Sambut Hari Ibu, Lanal Bintan Turut Ramaikan Dengan Ikut Serta Lomba Memasak
Jalin Kebersamaan, Lanal Bandung Gelar Gowes Bersama dan Penanaman Ketahanan Pangan