Jakarta – MCN.com
– Aksi demo yang digelar Front Muslim Maluku di depan Istana Negara dan Polda Metro Jaya hari ini, Kamis (13/4/2023) mengutuk tindakan pengeroyokan dan penganiayaan yang dilakukan massa terhadap seorang debt collector di Rawa Buntu, Serpong, Rabu (5/4/2023) lalu.
Dalam aksi damai itu Front Muslim Maluku mendesak kepolisian menangani kasus itu secara profesional, adil, dan benar. Mereka juga mengutuk ungkapan-ungkapan rasisme dan stigmatisasi terhadap suku bangsa tertentu di negeri pluralistik ini.
Koordinator aksi damai Front Muslim Maluku Faisal Ngabalin meminta pemerintah, DPR, dan kepolisian melihat aksi ini untuk memahami profesi penagih utang (debt collector) sebagai pekerjaan yang tidak bertentangan dengan hukum.
Ngabalin mengatakan peran besar telah dimainkan profesi penagih utang dalam ikut serta menumbuhkan perekonomian masyarakat. “Coba bayang betapa sulitnya lembaga-lembaga pembiayaan dalam menagih haknya bila tak dibantu debt collector,” ujar Ngabalin kepada awak media.
Apalagi, tambah Ngabalin, setiap debt collector bekerja berdasarkan surat perintah dari yang berwenang. Karena itu mereka pun sadar hukum dan tahu cara-cara yang terbaik. Di lapangan, benturan itu bisa saja terjadi dan itu kasuistik.
Seperti yang sempat viral di media sosial bagaimana seorang penagih utang dikeroyok oleh massa hingga babak belur. Aksi brutal itu telah mengundang empati kelompok debt collector se-Jabodetabek mendatangi Polsek Tangerang beberapa waktu lalu. Mereka mendesak polisi segera menangkap para pelaku.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi menjelaskan, peristiwa diawali ketika seorang debt collector yang sudah menguasai mobil yang dicari karena menunda pembayaran, dihadang sekelompok orang dengan teriakan maling. Teriakan itu menyebabkan amuk massa, akibatnya korban babak belur.
Polisi kemudian menetapkan dua debt collector sebagai tersangka dengan mengenakan Pasal 368 KUHP dan 6 orang tersangka pelaku kekerasan dengan Pasal 351dan Pasal 170 KUHP.
Menurut Hengki, dalam setiap perjanjian utang-piutang, jika ada pihak yang tidak tepati janji, tidak berarti pihak lain (kreditor) boleh melakukan kekerasan. Hubungan keperdataan itu bila diintervensi dengan pemaksaan dan kekerasan maka terjadi tindak pidana. Debitor harus membayar kewajibannya terhadap leasing.
“Kami berharap pemerintah dapat menjadikan momentum ini untuk mempertimbangkan dan memikirkan langkah-langkah ke depan agar pemerintah tidak mendiskreditkan profesi debt collector,” tegas Faisal Ngabalin.
Ngabalin mengingatkan, ujaran kebencian seperti stigmatisasi dan rasisme telah menjadi isu global yang menandakan ketidakmatangan berpikir dan berkomunikasi dengan orang lain. Karena itu dia mendorong pemerintah, anggota legislatif, dan kepolisian untuk lebih peka lagi menghadapi perilaku sosial yang tidak dewasa itu. * (Rika)
More Stories
14 Tahun FPMM Rangkul Persatuan Warga Maluku se-Jabodetabek
FPMM Adakan Syukuran Tahun Baru 2025, Umar Key: Mari Saling Sayang dan Doakan
Front Pemuda Muslim Maluku Turut Serta Amankan Malam Natal di Gereja Katedral