Januari 8, 2025

Terkait Putusan MK Nomor 87 Soleman Ponto Berharap KPK Tunduk Pada Aturan

Spread the love

Loading

Jakarta – MCN.com – Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XXI/2023 masih meninggalkan kesulitan di lapangan ketika sebuah kasus korupsi yang melibatkan militer hendak diadili pada pengadilan umum.

Pengalaman membuktikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kesulitan memproses kasus semacam itu karena terkendala beberapa hal yang bernada kontroversial secara hukum.

Dalam Focus Group Discussion(FGD) bertema “Kewenangan Penegak Hukum dalam Penanganan Perkara Koneksitas Tindak Pidana Khusus” yang digelar di Hotel Aston Jl. Simatupang, Jakarta, Selasa (7/1/2025) itu, persoalan ini terus disoroti. Hadir dalam FGD ini Jaksa Agung ST Burhanuddin sebagai keynote speech dan tiga narasumber, yakni Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksda TNI Kresno Buntoro, S.H, L.LM, Ph.D, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Soedirman, Prof Dr Hibnu Nugroho, S.H, M.Hum, dan Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, M.H.

Prof. Hibnu Nugroho mengatakan, pengertian koneksitas menurut Pasal 89 KUHAP adalah tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Seiring dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 87/PUU-XXI/2023, maka terdapat hal-hal baru yang harus lebih dipersiapkan dalam penanganan tindak pidana koneksitas.

Dalam penanganan perkara koneksitas mengalami perkembangan yang kemudian menimbulkan kerumitan dalam pelaksanaannya dan memunculkan banyak pendapat. Contohnya kasus korupsi berupa operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK terhadap Kepala Basarnas saat itu.

Kasus ini melibatkan pihak sipil dan militer. Tindakan pro yustisia yang dilakukan KPK itu menuai protes dari Komandan Pusat Militer (Puspom) TNI, karena OTT KPK tidak dikoordinasikan terlebih dahulu dengan TNI. Terjadi silang pendapat kewenangan mengenai siapa atau lembaga yang lebih berwenang menangani kasus korupsi yang diduga melibatkan orang nomor satu Basarnas itu.

Lahirnya putusan MK Nomor 87/PUU-XXI/2023 tidak serta Merta dapat langsung diterapkan. Hal ini berhubungan erat dengan faktor substansi, struktur, dan kultur.

Soleman B. Ponto, di sela kegiatan FGD, mengatakan, bahwa perkara koneksitas itu muncul karena, pertama, ada desakan masyarakat yang diajukan ke MK, bahwa Pasal 89 KUHAP dan Pasal 198 mengakibatkan ketidakpastian hukum, dan kedua, untuk kepastian hukum di KPK. Namun, semua yang diminta itu ditolak. Terdapat penafsiran baru.

“Ibaratnya, kalau dapat duluan, kamu laksanakan saja. Jadi, sudah, begitu. Dari situ saya bilang, kalau hakim menyatakan begitu, artinya hakim melanggar UUD. Karena dalam UUD militer hanya diadili di pengadilan militer, sedangkan KPK pengadilannya di pengadilan tipikor, yang berada dalam pengadilan umum. Sehingga, kalau itu dilaksanakan, dia bertentangan dengan UUD; padahal tentara itu sendiri adalah penegak UUD,” jelas Soleman Ponto.

Namun menurut Ponto, tak ada jalannya KPK menyidik militer. Tapi, KPK mau melakukan itu dan minta petunjuk MK. “MK itu penjaga konstitusi, kenapa harus bikin aturan baru. Maka saya bilang, kalau kamu mau duluan, silakan. Ibarat lirik lagu dangdut “kau yang mulai, kau yang mengakhiri”. Misalnya, KPK mau ambil barang bukti, masuk ke batalyon, dia masuk boleh, tapi keluar tidak tahu,” tutur Ponto.

Ponto mengatakan, semua orang harus tahu bahwa TNI itu tidak kebal hukum, tapi dia punya peradilan sendiri. Jangan mengarahkan militer diadili di pengadilan umum, sepanjang Pasal 24 UUD tidak diganti. Kalau sudah koneksitas, berarti hanya ada jaksa dan oditur, KPK tidak masuk.

Ponto berharap, aturan yang ada selama ini dijalankan saja. KPK harus tunduk pada aturan, tunduk pada jaksa. **(Rika)