Desember 21, 2024

Suara Septia Dwi Pertiwi di PN Jakarta Pusat: Relasi Kuasa Berujung Kriminalisasi Buruh

Spread the love

Loading

Jakarta – MCN.com – Suara Septia Dwi Pertiwi menggetarkan kuping Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum saat dia membacakan pleidoi pribadi atas tuntutan jaksa yang menersangkakannya dengan kasus pencemaran nama baik bosnya di PT Hive Five, Jhon LBF.

Septia bekerja terhitung sejak Januari 2021 hingga Oktober 2022 dan merupakan buruh terlama di Divisi Marketing.

Mantan karyawan Jhon LBF itu mengungkapkan dirinya banyak melihat dan mendengar hal-hal yang menyakitkan hati selama 21 bulan bekerja di PT Hive Five.

“Sangat sering saya melihat dan mendengar hal-hal yang menyakitkan hati, seperti pemecatan mendadak tanpa peringatan sebelumnya,” ucap Septia di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2024).

Apa yang terjadi selama 21 bulan tersebut lebih menyakitkan daripada yang terungkap dalam persidangan.

Septia mengatakan tak sedikit temannya yang keluar dari perusahaan dalam keadaan psikis terganggu.

Komisaris PT Hive Five Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF disebut bertindak otoriter. Pemecatan selalu menjadi ‘senjata’ Jhon LBF untuk buruh yang dianggapnya membuat kesalahan.

Di akun Twitter dia lalu menulis kritikannya selayaknya yang dilakukan oleh ribuan pengguna Twitter lain. Dia pun dilaporkan ke polisi.

Septia pun menyoroti penilaian jaksa yang menyebutnya tidak menyesali perbuatan. “Saya tidak menyesali perbuatan sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum kepada saya,” ucap dia.

Septia yakin apa yang telah dilakukannya dalam rangka memperjuangkan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dalam hal ini buruh.

Pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan seperti upah murah, lembur tidak dibayar, kerja tanpa hari libur, tidak ada jaminan kesehatan, adalah hal yang jamak ditemukan di perusahaan ini.

Septia berharap majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkaranya dapat memutus dengan adil dan bijaksana.

Sebelumnya, pada 11 Desember 2024, Septia dituntut hukuman 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan karena dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 36 Jo Pasal 51 ayat (2) UU ITE.

Sejumlah pihak dari beberapa organisasi nasional dan internasional mendukung Septia dan bersedia menjadi sahabat pengadilan (amicus curiae) dalam perkara ini. Mereka sepakat Septia harus bebas.

Hadir pada persidangan itu sejumlah organisasi atau lembaga bertaraf nasional maupun internasional. Ada yang telah melakukan petisi dengan mengumpulkan tanda tangan mendukung Septia.

Data dari Amnesti Internasional memperlihatkan tingginya tingkat kriminalisasi terhadap kaum pekerja di Indonesia. Hal itu akibat dari UU ITE yang tak memadai. UU itu mendesak untuk direvisi.

Ajeng dari Aliansi Perempuan Indonesia, mengatakan, pleidoi Septia adalah fakta, bukan fitnah atau pencemaran nama baik. Menurutnya, tuntutan jaksa tak berdasar fakta persidangan dan tak sesuai dengan pendapat saksi.

“Dia memperjuangkan upah sesuai UMR, upah lembur yang harus dibayar, jam kerja yang tak lebih dari 8 jam. Semua itu sudah ada aturannya. Tapi kenapa dia mau dipenjara?” tanya Ajeng.

** (Rika)