Desember 19, 2024

Harvey Moeis Bacakan Pleidoi Sambil Menangis, Kuasa Hukum Junaidi: Jaksa Campurkan UU Sektoral dan UU Korupsi

Spread the love

Loading

Jakarta – MCN.com – Harvey Moeis terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah UIP PT Timah Tbk periode 2015-2022, membacakan nota pembelaannya sambil menangis, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (18/12/2024).

Dia memberi pesan kepada istrinya, artis Sandra Dewi dan kedua anaknya agar tetap kuat menghadapi cobaan hidup ini.

Harvey yakin istrinya mampu menghadapi ini, apalagi sang istri menjadi kekuatan dirinya. Tanpa Sandra Dewi, Harvey akui akan patah.

Dalam sidang sebelumnya, Harvey dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar. Dia diganjar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU TPPU.

Harvey merupakan perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) bersama eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.

Harvey dan Mochtar mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah Tbk. Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah seperti PT Stanindo Inti Perkasa, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Tinindo Internusa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan.

Pengacara Harvey Moeis, Dr Junaidi, usai sidang, mengatakan, secara formil JPU mencampur aduk antara UU Sektoral dan UU Korupsi. Ini hal yang tak diperbolehkan oleh Pasal 14 UU Tipikor.

Terkait tuntutan jaksa, dia mengatakan Pasal 2 dan Pasal 3 tidak tepat diterapkan. Kalau mau dilakukan, harus lebih dahulu lewat UU Sektoral sehingga penghitungan kerugian negara yang dijadikan dasar dalam perkara ini, tidak tepat. Kenapa?

Pertama, BPKP tidak punya wewenang melakukan penghitungan atas kerugian negara, yang tak terkait dengan APBN. Kedua, dalam melakukan penghitungan, BPKP harus melakukan konfirmasi dan bandingan. Ini tak pernah dilakukan BPKP.

Ketiga, dalam melakukan penghitungan kerugian negara, BPKP hanya menghitung terhadap yang yang keluar, tetapi berapa yang dihasilkan dari hasil kerja sama timah itu, tidak pernah dilakukan. Keempat, BPKP secara serampangan mengambil alih perhitungan yang dilakukan oleh ahli Bambang Hero dan Basuki Oasis, yang tak pernah ditunjuk oleh KLHK untuk melakukan penghitungan itu.

“Jadi, ada suatu salah kaprah yang dilakukan Kejaksaan Agung apakah ini penambangan ilegal atau legal. Sejak UU tahun 2009 ini terbit, tidak pernah ada suatu penambangan ilegal kalau penambangan itu dilakukan di wilayah IUP yang pemegang izinnya sudah memberi kepada masyarakat untuk menambang,” tutur Junaidi.

Dia heran kenapa disebut tambang ilegal padahal hasilnya dinikmati oleh negara dan masyarakat. Masyarakat jadi sejahtera, negara menikmati hasilnya baik dalam bentuk royalti maupun dividen yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan dan PT Timah.

Terkait aset yang disita, jangan melakukan penafsiran dramatis terhadap aset, yang ternyata tidak tepat.

Kepada Majelis Hakim, tim hukum Harvey minta agar aset terdakwa yang disita untuk dikembalikan dan membebaskan terdakwa dari tuntutan jaksa. **(Rika)