Jakarta – MCN.com – Sindiran lama masyarakat terhadap dunia pendidikan Indonesia adalah ganti menteri ganti kurikulum. Yang repot adalah guru, murid, dan orang tua. Kebiasaan buruk tapi dibiarkan.
Siapa yang berani menentang Pak Menteri, sekalipun kurikulum pendidikan yang disodorkannya tak berdampak adil terhadap masyarakat di daerah-daerah (T3) terpencil, terluar, dan termiskin?
Masyarakat Indonesia tidak akan lupa ketika anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Anita Jacoba Gah, menggebrak meja di hadapan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, dalam rapat kerja di Gedung DPR RI pada 6 Juni 2024. Anita Jacoba Gah marah karena Menteri Nadiem tak mendengar masukan DPR.
Tapi di situ masyarakat melihat komitmen Anita Jacoba Gah terhadap pendidikan di daerah 3T yang tak dilihat menteri di Jakarta.
Anita prihatin dengan belajar Kurikulum Merdeka yang terlalu dipaksakan untuk diterapkan di seluruh Indonesia. Padahal kondisi masyarakat di tiap daerah sangat berbeda.
“Menurut saya, sebetulnya Belajar Kurikulum Merdeka itu baik, tapi saya melihat tak bisa dipaksakan ke seluruh daerah, karena Kurikulum Merdeka lebih banyak menggunakan platform digital, Butuh biaya besar.
Kedua, bagaimana dengan guru-guru di daerah tertinggal yang tidak punya laptop dan susah sinyal. Apakah mereka mengerti laptop. Banyak guru 3T sulit mendapat jaringan internet. Tidak semua sekolah punya laptop. Akses internet juga susah.
Hal ini, apakah pada kondisi masyarakat seperti itu kita harus paksakan Belajar Kurikulum Merdeka.
“Sekarang, terlihat banyak anak yang lulus. Tapi itu juga karena dipaksakan. Kalau mau jujur, mereka belum paham belajar Kurikulum Merdeka, baik guru maupun siswanya,” tutur Anita Jacoba Gah saat ditemui awak media di Jakarta Convention Center, Jumat (25/10/2024).
Menurut dia, sebaiknya kita kembali ke sistem lama, yaitu sistem ujian nasional supaya ada standar nasional mutu pendidikan kita.
Di sisi lain, menurut Anita Jacoba Gah, sistem anggaran pendidikan itu harus adil. Karena Pancasila menjadi dasar kita. Ketika kita bicara tentang keadilan sosial, kita harus adil terhadap masyarakat di daerah 3T.
“Di daerah 3T, akibatnya banyak guru yang ribut dalam rumah tangga mereka gara-gara gaji yang sudah kecil tapi harus beli pulsa, beli gawai, laptop. Mau beli beras atau beli pulsa? Ditambah lagi dengan anak-anak yang lambat mengerti. Karena kurikulum terlalu dipaksakan, anak-anak sekarang gunakan gawai juga untuk hal yang lain, termasuk hal negatif. Yang saya tekankan adalah platform digital karena setiap tahun butuh dana Rp 800 miliar,” urai Anita Jacoba Gah.
Bila dampak dari dana Rp 800 miliar itu dirasakan putra-putri Indonesia, tidak masalah. Tapi dana ratusan miliar rupiah itu tak dirasakan anak-anak di daerah 3T. Itu tidak adil.
“Saya berharap kembalikan saja sistem yang dulu, yakni sistem ujian nasional. Sekarang Menteri Pendidikan yang baru tengah menyusun agenda. Akan ada rapat dengan DPR. Apakah yang baik, kita dukung, tapi yang masih kurang kita perbaiki,” tutur perempuan kelahiran Jakarta itu.
Saat ini Anita Jacoba Gah kembali terpilih sebagai anggota DPRD RI Fraksi Partai Demokrat untuk ke-5 kali. Itu bukti masyarakat Dapil NTT sangat percaya padanya. Anita duduk sebagai wakil rakyat sejak 2004-2009, 2009-2014, 2019-2024, dan 2024-2029.
Pendidikan dasarnya di NTT dan SMA di Jakarta. Anita mengikuti kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta dan jurusan ekonomi di STIE Nasional Indonesia. Dia juga mengajar musik dan vokal.
Wawasan yang luas dan keberpihakan terhadap rakyat kecil adalah bukti komitmen politik dan kemanusiaannya sampai hari ini. **(Rika)
More Stories
Danlanal Bintan Bersama Forkopimda Bintan Laksanakan Rapat Jelang Natal dan Tahun Baru
Lanal Simeulue Gelar Upacara Peringatan Hari Bela Negara Dengan Semangat Jalesveva Jayamahe
Danlanal Bintan Turut Panen Raya Bersama Pembenihan Padi