Januari 8, 2025

Pilihan Hidup Ignas Kleden Sebagai Intelektual Publik

Spread the love

Loading

Jakarta – MCN.com – Sosok Dr Ignas Kleden tetap dikenang masyarakat Indonesia sebagai sosok intelektual yang tetap mengambil jarak dari kekuasaan hingga akhir hidupnya. Godaan kekuasaan itu ditampik karena ia ingin murni berkarya sebagai intelektual untuk mencerahkan pemikiran masyarakat Indonesia.

Kematiannya menjadi kehilangan bagi dunia pemikiran sosial di Indonesia terutama saat Indonesia tengah berjuang di tengah degradasi moral dan etika serta pola pikir jalan pintas yang mewarnai politik Indonesia dan berdampak besar terhadap kehidupan sosial.

Banyak sahabat dan koleganya menulis kenangan mereka bersama Ignas dan tulisan-tulisan itu tersebar di media massa. Rasa kagum mereka terhadap pemikiran yang ia tuangkan dalam tulisan-tulisannya, membuat sosok Ignas memiliki posisi tersendiri di dunia akademis dan penulis Indonesia.

Memperingati 40 hari kepergiannya, sebuah perayaan Ekaristi diadakan di Aula SD Santo Antonius Padua, Matraman, Jakarta Timur, Minggu (3/3/2024). Ekaristi dipimpin 4 imam, yakni Romo Andreas B. Atawolo OFM, Romo Antonius Sudiarja SJ, Romo Frumen Gions OFM, dan Romo Johanis Mangkey MSC.

Hadir sang istri Ninuk Kleden-Probonegoro, Paskal Kleden (anak) dan Trisna Adiwibowo (menantu), serta keluarga Kleden dan keluarga Probonegoro, para kolega Ignas dan para politisi asal NTT serta tokoh masyarakat NTT di Jakarta.

Ignas Kleden meninggal pada Senin (22/1/2024) di RS Suyoto, Jakarta Selatan, dalam usia 76 tahun dan meninggalkan seorang istri Dr Ninuk Probonegoro dan seorang putra Paskal Kleden. Jenazahnya kemudian dikremasikan.

Ignas Kleden merupakan sosok intelektual publik yang tiada henti menulis untuk mencerahkan Indonesia. Pemikirannya jitu, disampaikan dengan bahasa sederhana yang bisa dimengerti banyak orang. Ratusan tulisannya dalam bentuk opini tersebar di pelbagai media mainstream. Tulisan-tulisan itu dinilai sangat mencerahkan bagi pemikiran bangsa.

Tentang tulisan-tulisannya itu, dalam “Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia” (2001) Ignas mengatakan tulisan-tulisa di surat kabar menjadi sebuah refleksi atas situasi saat tulisan itu dibuat, dan alasan mengapa tanggapan itu dibuat.

Dalam pengertian Kleden, seorang penulis kolom opini tidaklah bertanggung jawab kepada siapa-siapa, terkecuali terhadap dirinya sendiri. Akuntabilitasnya tidaklah bersifat publik tetapi bersifat privat dan egosentris. “Anehnya”, tulis Kleden, “egosentrisme akuntabilitas itu, dalam akibatnya, sering kali valid secara publik”.

Bagi Ignas Kleden, seorang penulis harus sanggup mengontrol dirinya untuk menulis demi kepentingan soal saja, bukannya untuk membela kepentingan dirinya atau kepentingan suatu kelompok yang hendak dimenangkannya secara sadar.

Dari tangannya, lahir ratusan tulisan ilmiah yang diterbitkan Prisma, Horizon, Basis, Tempo, Kompas, The Jakarta Post, dan sejumlah buku seperti “Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan” (1988) , Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia (2001)”, “Masyarakat dan Negara Sebuah Persoalan” (2004), ”Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan” (2004) dan “Fragmen Sejarah Intelektual” (2020). Pada 2003 Ignas memperoleh Penghargaan Achmad Bakrie untuk bidang pemikiran sosial.

Ignas Kleden merupakan sosok intelektual terkemuka dan langka di Indonesia saat ini. Pemikirannya sangat mendalam dan menyasar pada beberapa bidang seperti sosiologi, filsafat sosial, dan sastra Indonesia.

Ignas termasuk intelektual yang merawat bahasa Indonesia dengan baik dan seorang pembaca sejarah Indonesia dengan tekun. Tokoh sejarah dan politik Indonesia dia tulis dengan memikat dan memakai sumber-sumber terkemuka.

Ignas menulis dengan bahasa Indonesia yang teratur, logis, jernih dan dengan kalimat yang sederhana sehingga bisa dibaca dan diikuti jalan pikirannya oleh pembaca umum. Dengan latar belakang filsafat epistemologi yang kuat, tulisan-tulisan Ignas membongkar pendapat, pernyataan, dan argumen yang keliru dalam cara berpikir masyarakat.

Ignas Kleden lahir pada 19 Mei 1948 di Waibalun, Larantuka, Kabupaten Flores Timur, dari sebuah keluarga guru yang sederhana. Adiknya, Dr Leo Kleden SVD dosen di Ledalero dan adiknya, Hermien Kleden, wartawan senior Majalah Tempo. Ignas aktif sebagai sosiolog, cendekiawan, akademisi, dan kritikus sastra sejak awal tahun 1970-an. Ignas banyak diundang untuk mendiskusikan masalah sosial dan mencoba mencari jalan keluar dari situasi itu, misalnya dia ikut memberi pemikirannya dalam penyelesaian konflik sosial di Ambon (1999).

Ignas Kleden pernah bekerja di Penerbit Obor sebagai editor dan penerjemah buku-buku ilmu sosial pada Yayasan Obor Internasional, Jakarta. Kemudian ia menjadi staf peneliti pada LP3ES, Jakarta. Pada 1981 dia meraih gelar Master of Art Filsafat pada Hochschule für Philosophie, Munich, Jerman (1979-1982, dan meraih gelar doktor sosiologi pada Universitas Bielefeld, Jerman (1989-1995) dengan disertasi berjudul “The Involution of The Involution Thesis: Clifford Geertz’ Studies of Indonesia Revisited” dengan predikat magna cum laude.

Walau dia berlatar belakang pendidikan filsafat dan teologi, Ignas Kleden mendalami sosiologi Indonesia secara baik. Pemikiran dan sejarah para sosiolog dunia dia dalami sehingga fasih membicarakannya baik secara verbal maupun dalam tulisan. Tutur kata bahasa Indonesianya teratur.

Ignas tertarik dengan masalah sosial di Indonesia, tetapi ia memberi catatan-catatan penting tentang kelemahan ilmu-ilmu sosial di Indonesia yang lebih banyak mengadopsi teori dari Amerika. Catatan Ignas itu penting supaya para pengambil kebijakan di pemerintah tidak keliru dan terperosok pada lubang yang sama.

Buku-bukunya berisi pemikiran yang mendalam. Ulasan-ulasannya tentang sastra Indonesia mencengangkan para sastrawan dan pelaku sastra itu sendiri. Ignas adalah pembaca sastra Indonesia yang tekun, karena itu dia menulis dengan baik tentang WS Rendra, Subagyo Sastro Wardoyo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Budi Darma, Sutan Takdir Alisjahbana, Sutardji Calzoum Bachri dan lainnya. Tulisan-tulisan itu bermakna

kritik sastra yang terbaik saat ini.

Di mata anaknya, Dr Paskal Kleden, keputusan sang ayah menjadi seorang intelektual publik merupakan sebuah pilihan hidup yang ia jalani hingga kematiannya. Paskal merasa bersyukur hidup di tengah keluarga di mana kedua orangtuanya merupakan akademisi dan intelektual.

Sementara adik Ignas, Mikhael Kleden, melihat sosok sang kakak sebagai pribadi yang bersahaja dan suka merangkul adik-adiknya. “Dia selalu menempatkan diri sebagai seorang kakak,” tutur Mikhael.

Ketika orang mengagumi tulisan-tulisannya, Ignas tetap mengambil jarak dari kekuasaan. Presiden Gus Dur pernah menawarkan Ignas duduk dalam kementerian di pemerintahannya, namun Ignas menolak secara halus. Ignas juga jarang sekali tampil di televisi. Dia tidak tergoda dengan hiruk pikuk dunia seperti itu. Dia tidak ingin mengejar kekuasaan dan harta.

Sepotong tulisan Ignas Kleden berbunyi, “Tugas Kristen yang khas masa sekarang adalah membawa pewartaan tentang cinta yang benar seperti yang dikehendaki Tuhan, dan mengajak orang mengganti cinta yang palsu dengan cinta yang sejati, atau membongkar kesadaran palsu tentang cinta itu melalui dialog dan kesaksian hidup”. **(Rika)