Jakarta – MCN.com
– Indonesia diwakili tiga hakim mengikuti workshop Justice For Silent Victims XIII di Perak, Malaysia (3-7/8/2023).
Mereka adalah Berlinda Ursula Mayor (KPN Manokwari), Ranto Sabungan Silalahi (KPN Paringin), dan Debby Stevani (Hakim PN Marabahan).
Kegiatan tersebut didanai oleh the Office of Overseas Prosecutorial Development, Assistance and Training (OPDAT) yang berada dibawah naungan U.S Department of Justice and Bureau of International Narcotics and Law Enforcement Affairs (INL) melalui Panthera Malaysia.
Workshop digelar atas kerjasama Justice for Wildlife Malaysia (JWM) dengan the Office of Chief Registrar of Federal Court Malaysia.
Kegiatan ini ikut dihadiri YAA Tun Tengku Maimun binti Tuan Mat ( Chief Justice of
Malaysia), YAA Tan Sri Dato’ Amar Abang Iskandar bin Abang Hashim (Chief of the Court of Appeal of Malaysia), YAA Dato’ Mohamad Zabidin bin Mohd Diah ( Chief Judge of Malaya), YAA Tan Sri Dato’ Abdul Rahman bin Sebli (Chief Judge of Sabah and Sarawak), para hakim, jaksa, dan polisi yang berhubungan langsung dengan kejahatan lingkungan di wilayah hukum Malaysia.
Perwakilan Hakim Internasional juga hadir, seperti Hon. Banuar Reuben A. Falcon, Hon. Marites Filomena B. Rana-Bernales, dan Hon. Jose Bayani J. Usman (dari Filipina), Angkana Sinkaseam, Supisara Siripenpong, dan Sirisit Anantasomboon dari Thailand.
Tujuan kegiatan ini untuk memberikan perkembangan terbaru tentang penegakan hukum kejahatan satwa liar dari sudut padang peradilan pidana, dan memberikan pengetahuan pada hakim tentang perkembangan kejahatan satwa liar di Asean.
Kejahatan satwa liar merupakan kejahatan serius. Dengan adanya perwakilan Hakim dari tiap negara, diharapkan para Hakim negara Asean dapat menjalin hubungan dan membuat forum komunikasi untuk berdiskusi dan bertukar informasi tentang usaha penanganan kasus kejahatan satwa liar.
En Khairul Mubin Ab Satar dari Perhilitan prosecution officer bicara tentang perkembangan terbaru kejahatan satwa liar lintas batas di sekitar wilayah Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Philipina.
Sementara Dr. Nor Arlina Amirah binti Ahmad Ghani, direktur dari Justice for Wildlife Malaysia (JWM) membahas perspektif NGO tentang tantangan dalam mengerti dan mengharmonisasi aturan hukum terkait dengan kejahatan satwa liar di Malaysia.
Setelah itu, perwakilan tiap negara (Indonesia, Thailand, Philipina, Malaysia) memaparkan bagaimana penanganan kasus satwa liar di negara mereka.
Indonesia memaparkan keberagaman hayati di mana ada lebih kurang 1000 species satwa liar yang dilindungi, seperti orangutan, harimau sumatera, dan burung cendrawasih.
Penegakan tindak pidana satwa liar di Indonesia dilihat dari 3 aspek yakni subtansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum sehingga diperlukan reformasi aturan terkait tindak pidana satwa liar, menyamakan visi para aparat hukum tentang konsep konservasi satwa liar, pentingnya mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melindungi satwa liar.
Ikut dibahas maraknya penggunaan teknologi dalam tindak pidana satwa liar belakangan ini yang membuat kejahatan ini semakin terorganisir lintas negara dan lintas benua. Maka perlu adanya kerjasama antara negara khususnya Asean dalam pengumpulan data elektronik terkait.
Hakim dari Thailand mengingatkan pentingnya membuat hukum acara khusus untuk tindak pidana satwa liar.
Penerapan precautionary principle dalam mengadili tindak pidana satwa liar sering tidak disertai bukti dan kepastian ilmiah antara tindakan manusia terkait satwa liar dengan dampaknya kepada lingkungan.
Malaysia mendorong pendekatan berbeda dalam mengadili perkara satwa liar karena tindak pidana ini harus dilihat dari sudut pandang konservasi serta dampaknya untuk kedepannya.
Sylvia Shweder (Regional Resident Legal Advisor for Counter Wildlife Trafficking in SE ASIA) memaparkan kerugian akibat tindak pidana satwa liar, dan hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang dan perdagangan senjata api.
Puan Elsie Primus (Session Court Judge Sabah) dan Puan Iris anak Awen Jon (Session Court Judge Sarawak) mengkaji guideline pemidanaan kejahatan satwa liar di wilayah Sabah dan Sarawak.
Scott Bradford dari US Embassy mempresentasikan bukti elektronik di pengadilan dalam menjerat pelaku tindak pidana satwa liar.
Pada hari Ketiga, peserta workshop melakukan refleksi tentang menjaga Bumi. Peserta mengunjungi Kampung Orang Asli Malaysia yang hidup dalam hutan lindung serta hidup berdampingan dengan satwa liar.
Pada hari terakhir, Prof. Amanda Whitford memperkenalkan konsep Species Victim Impact Statement (SVIS) dalam penanganan kasus satwa liar. Korban tindak pidana satwa liar adalah ‘hewan’ yang tidak dapat memberikan keterangan (silent victim) maka polisi ataupun jaksa dapat menggunakan latar belakang spesies seperti motif mengapa spesies tersebut diperdagangkan, tingkat kepunahannya untuk menilai tingkatan seriusnya tindakan pelaku dan kerugian atas tindakan tersebut sebelum mendakwa pelaku dengan aturan tertentu.
Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari tiga hari workshop ini, misalnya, penerapan Species Victim Impact Statement (SVIS) dalam pembuktian tindak pidana, penerapan sentencing guideline untuk menghindari adanya disparitas putusan, adanya forum ASEAN dalam penanganan perkara kejahatan satwa liar untuk bertukar informasi dan koordinasi bukti elektronik, dan forum regular setiap tahunnya untuk membahas perkembangan penanganan kasus satwa liar di tiap negara. **(Rika)
More Stories
Politisi PDI-P Once Mekel Bertekad Perjuangkan Pendidikan Nasional dan Industri Musik
Dukung Program Makan Bergizi Gratis, Danramil Pasar Rebo Dampingi Distribusi Makan ke Lokasi
KAPAKA, Militer, dan Jigsaw: Kompetisi Menangkap Tikus di Negara Ngacoceria