Desember 20, 2024

Presiden Joko Widodo ingatkan Aparat Kejaksaan Tidak Mempermainkan Hukum, Cosmas Refra: Terlalu Lama Kasus John Gluba Gebze Dieksekusi

Spread the love

Loading

Jakarta – MCN.com – Pada Hari Bhakti Adhyaksa ke-63, Sabtu (22/7/2023) Presiden Joko Widodo meminta agar tidak ada lagi aparat kejaksaan yang mempermainkan hukum. Sebaliknya, Presiden minta kejaksaan dapat menggunakan kewenangan yang besar yang dimiliki lembaga itu dalam penegakan hukum.

“Jangan ada lagi aparat kejaksaan yang mempermainkan hukum, walau saya tahu ini oknum,” seru Jokowi dalam upacara di Lapangan Upacara Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Jakarta Selatan, Sabtu (22/7/2023).

Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi mengapresiasi peran jaksa sebagai pengacara negara dalam mempertahankan dan mengembalikan aset negara. “Kepercayaan publik jadi modal penting bagi transformasi kejaksaan. Integritas menjadi hal yang penting dalam menjalankan agenda pembangunan. Saya mengapresiasi makin tinggi kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan,” kata Presiden RI itu.

Kejaksaan dan seluruh lembaga penegak hukum diminta untuk memanfaatkan kepercayaan masyarakat secara profesional dan bertanggung jawab. Akuntabilitas aparat dan pelayanan kepada masyarakat mesti terus diperbaiki.

Menyimak sambutan Presiden Jokowi itu, Advokat senior Cosmas Refra, SH, MH, menegaskan, pernyataan Presiden tersebut seharusnya direspon secara serius oleh semua penegak hukum agar Indonesia menjadi negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Sejak Indonesia memasuki era Reformasi, praktik KKN tak juga berkurang. Ramai-ramai, dari waktu ke waktu, masyarakat menonton para pejabat di negeri ini dikenakan rompi kuning dan digiring masuk penjara.

Bentuk korupsi makin canggih dan aparat penegak hukum mengalami pengalaman yang tak mudah untuk menyeret para pencuri uang negara ini ke sidang pengadilan. Para pejabat korupsi pandai membentuk “pasukan pengamanan koruptor” (paspamkor).

Namun, di saat seperti itu, aparat penegak hukum tak jarang mencoba bermain dalam air keruh permasalahan terkait. Akibatnya, keputusan pengadilan lambat dieksekusi. Masyarakat awam lalu mudah menohok kepada perilaku aparat kejaksaan.

Kasus hukum mantan Bupati Merauke dua periode, Johanis Gluba Gebze, menjadi wacana publik sejak lama ketika tersangka belum juga dieksekusi sejak keputusan inkrach sudah diumumkan.

Menurut Advokat Cosmas Refra, S.H, M.H, dari Forum Gerakan Penegak Hukum dan Keadilan Indnesia (FG-KEPHIN), seharusnya Johanis Gluba Gebze sudah ditahan dan dipenjarakan. Tak ada hal lain yang perlu didiskusikan, karena keputusan hukum merupakan sebuah kepastian.

“Prinsip hukum adalah semua warga negara sama (equal) di hadapan hukum. Siapa yang bersalah, harus dihukum. Sehingga tidak boleh ada tebang pilih atau membeda-bedakan. Kasus hukum yang menimpa pejabat negara, harus dituntaskan agar masyarakat percaya bahwa hukum di negara ini masih bisa diandalkan,” tutur Advokat Cosmas Refra dalam webinar nasional yang diselenggarakan oleh Forum Gerakan Penegak Hukum dan Keadilan Indonesia, Sabtu (22/7/2023).

Melihat ketidakpastian eksekusi pada kasus ini, Cosmas Refra mendesak Kejaksaan Agung agar bersikap tegas, dan sebaliknya Johanis Gluba Gebze dengan rendah hati menghargai proses hukum yang berlaku.

Cosmas Refra, yang saat ini menjadi salah satu pengacara bagi terdakwa Gubernur Papua non aktif Lukas Enembe, merasa heran dengan lambannya kejaksaan menyelesaikan masalah mantan orang nomor satu di kabupaten terselatan Papua itu. “Masyarakat sering bertanya pada saya, kenapa kasus hukum mantan Bupati Merauke itu belum dituntaskan,” tutur Cosmas.

Hal senada diungkapkan pengamat masalah sosial, politik, dan hukum, sekaligus Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi. Dia menyebutkan beberapa kasus korupsi yang menimpa beberapa kepala daerah dan walikota, yang berupaya mempersulit penangkapan.

“Masyarakat sering jadi pesimis melihat perilaku pejabat. Mereka sudah bersalah karena melakukan korupsi namun masih menganggap dirinya bersih sehingga tak mau dieksekusi. Ini membingungkan kita semua. Tak punya perasaan bersalah, seakan tindakan korup itu adalah wajar dan benar. Lalu, di mana hati nurani mereka,” tanya Muslim Arbi.

Ada persoalan nilai yang mencuat di sini. Dosa baru dihayati sebagai dosa ketika dosa itu diketahui pihak lain (penegak hukum). “Ini yang sebenarnya ada di pikiran para pejabat korup itu. Untuk itu, saya berharap, aparat penegak hukum harus lebih tegas dan keras lagi,” ujar Usman yang ikut webinar tersebut. Ia geram melihat para koruptor di negeri ini selalu tersenyum dan melambaikan tangan saat ditangkap KPK, seakan tak merasa bersalah.

Seperti telah dirilis media ini, Johanes Gluba Gebze didakwa telah menyelewengkan dana APBD 2006-2010 sebesar Rp 8,49 miliar. Dana itu digunakan untuk pemberian suvenir kulit buaya kepada para tamu Pemda yang berkunjung ke Kabupaten Merauke. Putusan Mahkamah Agung pada 12 Januari 2016 menyatakan J. Gluba Gebze bersalah dan divonis 10 tahun penjara dan membayar denda sebesar Rp 200 juta dan uang pengganti.

Namun belum dieksekusinya Gebze membuat masyarakat balik menduga adanya permainan kepentingan di belakang sikap tak konsisten aparat ini. Mereka membandingkan kasus Gluba Gebze dengan Lukas Enembe, yang sedang dalam proses hukum.

Cosmas mengajak masyarakat agar tidak takut pada persoalan hukum yang menimpa mereka. Indonesia adalah negara hukum dan semua warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum. Pengadilan akan memutuskan siapa benar dan siapa salah.

“Sebagai orang hukum, saya selalu mengedukasi masyarakat agar hidup jujur, adil, sederhana, dan dekat pada Tuhan. Itu akan membuat kita terhindar dari persoalan hukum. Kita juga harus berani bertanggung jawab dengan perbuatan kita. Kalau kita salah, ya harus bersedia dihukum, bersikap gentlement,” tegas Cosmas yang siap ‘fight’ menegakkan hukum di negeri ini. * (Rika)