Jakarta – MCN.com
– Ahli psikologi forensik dan peneliti ASA Indonesia Institute, Reza Indragiri Amriel, yang berbulan-bulan mengikuti dan mencermati persidangan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, mengatakan, kejujuran dan keberanian Richard Eliezer Lumiu berpengaruh pada vonis yang diberikan hakim pada dirinya.
Sejak awal, Richard Eliezer terlihat sebagai pihak lemah yang dipaksa menjalankan perintah atasannya. Tak bisa ia dilimpahkan tanggungjawab pada kasus ini. Tak ada ruang bagi Eliezer untuk menolak perintah pimpinan jenderal berbintang dua Ferdy Sambo.
Lalu, bagaimana beratnya hukuman yang harus diterima Richard Eliezer pada vonis hakim pada Rabu (15/2/2023)? Reza Indragiri memberi analisisnya.
Menurut Reza, pada sesi pertama persidangan, Richard Eliezer langsung bersimpuh dan meminta maaf kepada keluarga almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Ini berarti, sebelum persidangan dimulai, seorang Richard Eliezer sudah mengakui perbuatannya kepada keluarga korban. Pengakuan itu tentu saja ikut mengobati luka yang selama ini masih berdarah di hati orangtua dan keluarga korban Yosua.
Sampai di situ, menurut Reza, tindak-tanduk Eliezer mirip dengan “plea bargaining” pada sistem Anglo Saxon. Artinya, tanpa menunggu proses sidang yang panjang, terdakwa buru-buru mengakui perbuatannya dan mengaku bersalah. Studi ilmiah menyimpulkan, “plea bargaining” seperti ini membuka ruang bagi peringanan sanksi secara nyata kepada terdakwa.
Poin lain yang dilihat Reza Indragiri adalah Richard Eliezer saat menyampaikan nota pembelaan pribadi. Isinya pun sangat bagus, terlebih dibandingkan pledoi pribadi Ferdy Sambo.
Tapi riset ilmiah menemukan, pledoi pribadi bukan sesuatu yang paling dinantikan hakim saat akan membuat putusan. Yang paling hakim tunggu adalah pledoi penasehat hukum terdakwa, disusul tuntutan jaksa. Jadi, pledoi pribadi Richard Eliezer tampaknya tidak berdampak nyata bagi berat ringannya hukuman.
Hal lain, yang dilihat Reza adalah soal LPSK merekomendasikan status justice collaborator (JC) kepada Eliezer. Jika status disinonimkan dengan “whistleblower”, maka penelitian menemukan ada efek “whistleblowing” terhadap pemotongan hukuman.
Alhasil, hitung-hitungan di atas kertas, Eliezer–jika divonis bersalah–akan dihukum penjara berapa lama?
Hakim juga bisa menerapkan strategic model (SM) dalam putusan terhadap Richard Eliezer. Tujuan yang ingin dicapai adalah bagaimana menyelamatkan karir Richard Eliezer. Dia masih muda dan memiliki masa depan sebagai seorang polisi.
Mantan Kapolri Tito Karnavian sebenarnya sudah menetapkan batas hukuman pidana maksimal yang akan berlanjut dengan pemecatan personel Polri secara tidak hormat. Yaitu, bagi Brotoseno jika dia dihukum di atas dua tahun penjara, dia akan dikeluarkan dari Polri.
Nah, kalau itu dijadikan acuan, maka hukuman bagi Eliezer–jika dia divonis bersalah–maksimal dua tahun saja. Itulah batas hukuman jika hakim ingin menyelamatkan masa depan Richard Eliezer sebagai anggota Polri.
Sebelumnya Reza Indragiri juga telah menganalisis hukuman berat akan diterima Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuwat Maruf dan Ricky Rizal. * (Reza/Rika)
More Stories
Kasad Rayakan Natal Bersama dan Tinjau Renovasi Panti Asuhan Bait Allah di Medan
Ciptakan Situasi Aman Dan Kondusif Pasca Pilkada 2024, Polres Metro Jakarta Timur Adakan Cooling System Demi Kamtibmas
Refleksi Diri Pelajar dan Mahasiswa Papua di Cianjur