Jakarta – MCN.com -Menjadi narasumber pada acara Dialog Kebangsaan 77 Tahun Kemerdekaan Indonesia, yang diselenggarakan oleh Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Direktur Jaringan Indonesia Moderat Cak Islah Bahrawi melihat wacana politik terlalu dijejali kepada umat Islam sehingga membenturkan pelbagai kelompok dan melahirkan kelompok radikal. Padahal dalam sejarah peradaban dunia, tokoh-tokoh besar Islam telah memberikan sumbangsih pemikiran gemilang pada kemajuan peradaban dunia.
Radikalisme dan gerakan-gerakan teror di Indonesia pun tak bisa dilepaskan dari cita-cita politik itu. Menurutnya, ada banyak wacana agama yang sebenarnya menyembunyikan cita-cita politik. Di situlah gerakan teror dan kekerasan itu dimulai.
“Kita harus bicara tentang gerakan-gerakan teror di Indonesia. Sebenarnya semua organisasi teror yang ada sekarang ini di Indonesia merupakan pecahan dari NII, Negara Islam Indonesia dari warisan Karto Suwiryo,” ujar Cak Islah.
Pada kepemimpinan Jaelani, NII pecah; bersama Abdulah Sungkar mereka membentuk Jamaah Islamiah (JI). Ketika itulah banyak organ JI dan NII yang pergi ke Afganistan.
“Yang menjadi persoalan kemudian ketika mereka kembali ke Indonesia mereka sudah memiliki keahlian-keahlian teror. Merakit bom, bertempur, merakit senjata, taktik bergerak secara klandestin,” tambahnya.
Puncak aksi teror di Indonesia terjadi pada 2000-2009. Setelah itu mereka lebih memilih bergerak di bawah permukaan. Karena kalau bergerak di atas permukaan, maka mereka mudah dipatahkan oleh kepolisian, seperti Imam Samudra, Ali Imron, Amrozi dan lainnya.
Kemudian, mereka mengubah strateginya. Sebagian bergerak di atas permukaan, dan yang lain bergerak di bawah permukaan. Mereka diam menyusup dan menginfiltrasi organisasi-organisasi normatif seperti parpol, MUI, lembaga-lembaga resmi keislaman.
Mereka menyebut diri sebagai gerakan marhalah, yakni gerakan-gerakan bertahan. Itulah kenapa sekarang mereka ini bergerak di atas permukaan dan di bawah permukaan.
Mereka berjalan bareng, yang di atas permukaan menyusup ke organisasi-organisasi resmi, yang di bawah permukaan memperkuat struktur, melakukan rekrutmen, pendidikan, dan pelatihan.
Persoalan kemudian, mereka ini membentuk sel tidur bersama, yaitu sel terputus yang tidak saling mengenal satu sama lain. Salah satu kelemahan dari kelompok teror ini adalah tidak berhasil menciptakan satu pemantik gerakan-gerakan revolusionernya.
Bila ada kerusuhan yang bersifat horizontal, baru mereka terjun ke bawahnya dan ikut serta di dalamnya. Kalau saja pada kerusuhan 1998 itu kelompok teror ini sudah sesolid, bisa jadi aksi 1998 itu disusupi oleh mereka.
Kalau saat ini terjadi lagi kejadian seperti 1998, pasti mereka akan menyusup. Negara bisa dikuasai oleh kelompok-kelompk teror itu, karena gerakan mereka itu sungguh-sungguh sangat rahasia, hidup, jumlahnya ribuan, dan berada di simpul-simpul masyarakat.
Ketika ada kerusuhan maka mereka akan muncul ke permukaan. Inilah yang disebut dengan gerakan-gerakan marhalah dari kelompok JI. Ini sangat bahaya. Jumlahnya banyak dan ada di mana-mana. JI saja jumlahnya kurang lebih 6.000, itu belum termasuk organisasi lain seperti JAD, JAK, JAT, dan sebagainya. Banyak sekali organisasi teror itu, mulai dari jaman mereka belajar ke Afganistan, melakukan aksi teror, dan hari ini mengapa lebih suka bergerak di bawah permukaan secara senyap.
Kalau urusan penindakan hukum, Densus 88 sudah hafal mereka. Densus 88 Anti Teror sudah memahami betul dan memetakan kekuatan mereka, mengidentifikasi.
Persoalannya, sekarang ini bukan persoalan penindakan hukum terhadap pelaku teror itu yang terpenting, melainkan bagaimana masyarakat menolak paham-paham ini, di sektor hulunya. Karena bagaimana pun masyarakat ini adalah sasaran rekrutmen mereka. Masyarakat juga yang harus menolak gerakan teror ini.
Menurut Cak Islah, sektor hulu ini menjadi penting, yaitu upaya-upaya untuk membangun kesadaran masyarakat untuk menolak paham-paham radikal. Kita harus melakukan deteksi dini, membangun kesadaran mandiri. Itu harus dibentuk dalam masyarakat.
Dalam hal penindakan, kata Cak Islah, kita serahkan kepada Densus 88. Namun dalam hal pencegahan, masyarakat justru merupakan pelaku utamanya. Tidak bisa mengandalkan Densus saja. * (Rika)
#MCN/RZ-HN/RED
kapan saya bisa mendapatkan sertifikat webinar nya?