April 29, 2024

Hanya Ada Satu Kata : Cabut Undang-Undang Cipta Kerja Yang Merugikan Buruh

Spread the love

Jakarta – MCN.com – Undang-Undang Cipta Kerja hanya berpihak pada pengusaha, maka hanya ada satu kata saja: Cabut Undang-Undang itu. Seruan itu terdengar keras dalam orasi-orasi para pendemo Aksi Aliansi Sejuta Buruh, di Jakarta, Kamis (10/8/2023).

Ribuan buruh turun ke jalan, memenuhi Jalan Merdeka di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat. Mereka marah pada pemerintah yang melecehkan tuntutan mereka dengan mensahkan UU Cipta Kerja.

Para buruh itu berasal dari pelbagai daerah di Indonesia, termasuk buruh Jabodetabek. Mereka merasakan hidup menjadi lebih sulit ketika UU Cipta kerja diberlakukan. Beberapa hak mereka dihilangkan dalam regulasi itu.

“Saya datang jauh-jauh dari Bengkulu, hanya dengan satu sikap: cabut UU Cipta Kerja yang merugikan buruh, sebaliknya undang-undang itu menguntungkan pengusaha dan penguasa,” tegas Septi Feriadi, Ketua Serikat Pekerja Pertanian Perkebunan Provinsi Bengkulu.

Septi datang ke Jakarta bersama teman-temannya dari Bengkulu dan bergabung dengan perwakilan buruh dari seluruh Indonesia. Sekali lagi, mereka berdemo memperlihatkan keberatan terhadap Omnibus Law itu.

Sejak gugat mereka ke Mahkamah Konstitusi, dan MK menganggap UU itu i konstitusional karena itu perlu segera diperbaiki, ternyata suara buruh juga tetap tak didengar hingga UU Cipta Kerja itu disahkan.

Para buruh merasa, dengan Undang-Undang Cipta Kerja, nasib mereka kian terpuruk. Hak-hak mereka dicabut.

Di Bengkulu, Septi Feriadi merasakan betapa pada masa Covid-19 mereka tak bisa bersuara karena takut kena PHK oleh pengusaha. Dengan Covid-19 saja hidup buruh sudah terpuruk bagaimana pula bila mereka kena PHK.

Septi dan teman-teman yang dijumpai pada demo ini, mengeluh karena hak-hak mereka selaku buruh dan pekerja telah dirampas oleh pengusaha dengan adanya UU Cipta Kerja.

“Dulu, UU No.13 Tahun 2003, kehidupan buruh cukup bagus. Ternyata UU ini diubah lagi. Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah meminta pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional. Namun, pemerintah bersikeras untuk mengesahkannya.

“Pemerintah kemudian keluarkan Perpu. Ini tidak masuk akal. Ada kepentingan apa?” tanya Septi.

Dia menilai, proses pembuatan UU Cipta Kerja itu bermasalah karena tidak melibatkan unsur pekerja. Menurutnya, banyak kepentingan para pengusaha yang diutamakan. Akibatnya, UU ini dinilai merugikan para tenaga kerja.

“Hari ini kita demo sebagai wujud protes. Kita desak pemerintah dan DPR serta semua pihak terkait, untuk mencabut UU Cipta Kerja agar hak-hak pekerja bisa dikembalikan.

Septi bercerita, selama dua tahun Covid-19, hidup mereka di Bengkulu, amat terpuruk. Selain itu, PHK dilakukan perusahaan. Mereka benar-benar terpuruk. UU ini dipandang sangat menyengsarakan kehidupan keluarga pekerja.

Mereka hanya bisa berharap pemerintah pusat dan DPR RI mau mencabut UU Cipta Kerja.

Di Bengkulu, kata Septi, ada beberapa perusahaan karet yang terpaksa tutup, akibat ekspor karet yang kurang menguntungkan.

Dia ikut prihatin karena kesejahteraan buruh di setiap unit kerja, juga pasti menurun. Karena banyak hal yang diatur dalam UU itu sangat merugikan pekerja.

Sementara itu, para pekerja terkadang tidak bisa bersuara karena landasan yang dipakai adalah UU Cipta Kerja itu

Kamis (10/8/2023) massa dari buruh seluruh Indonesia menggelar demo di kawasan Patung Kuda Monas dan Gedung DPR Jakarta Pusat.

Demo buruh ini menuntut pemerintah mencabut Undang-Undang Omnibus Law atau UU Cipta Kerja, menaikkan upah minimum buruh sebesar 15% pada 2024, serta merevisi presidential threshold dari 20% menjadi 0%.

Kelompok buruh ini dimotori Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Ribuan buruh menyuarakan aksi penolakan terhadap UU Cipta Kerja.

Bila tuntutan ini belum juga didengarkan pemerintah, mereka berjanji akan menggelar demo yang lebih besar lagi.

Aksi demo saat ini cukup membuat tegang, apalagi menjelang tahun kompetisi politik, 2024. Namun, suara buruh adalah tuntutan terhadap keadilan.

Tak adil bila tenaga mereka dieksploitasi terus menerus di bawah sistem ekonomi kapitalisme lewat regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Perjuangan mereka tak mungkin berhenti selama rasa keadilan sosial dalam Pancasila itu belum jua diwujudkan. * (Rika)